Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

2. Dinamika Palung Jawa: Distribusi spasial dan temporal seismisitas




Palung merupakan tempat menunjamnya lempeng samudera. Selama penunjaman berlangsung, lempeng samudera bergesekan dengan lempeng yang menumpang diatasnya. Gesekan antar lempeng ini menimbulkan aktifitas seismik atau gempa tektonik yang bersumber di permukaan lempeng yang menunjam. Kedalaman sumber gempa tergantung jarak horisontalnya terhadap sumbu palung, makin menjauhi palung ke arah daratan sumber gempa akan semakin dalam (deep earthquke) dan sebaliknya mendekat ke palung gempanya merupakan gempa dangkal (shallow earthquake) (Gambar-2 B). Oleh karena itu distribusi aktifitas seismik secara spasial dan temporal di suatu wilayah mencerminkan dinamika palungnya.
Dengan menggunakan dua basis data, NOAA hypocenter data file (mulai Januari 1900 sampai Mei 1981) dan ISC data file (mulai Januari 1971 sampai Desember 1983), Ghose dan Oike (1988) mengevaluasi distribusi spasial dan temporal aktifitas seismik sepanjang busur Sunda.
 
Berdasarkan peta distribusi seismisitas (Gambar-3A) dapat diidentifikasi lokasi-lokasi yang paling sering mengalami gempa (ditunjukkan oleh kerapatan titik gempa yang tinggi). Lokasi-lokasi ini terdapat di ujung utara Sumatra, di utara pulau Simeuleu, tenggara Nias, ujung selatan pulau Siberut, selatan Jawa Barat, di selatan Jawa antara 107°-110° BT, dan di baratdaya Sumba. Yang menarik, di Sumatra ternyata seismisitas dangkal yang bersumber dari palung tidak banyak melampar ke daratan (inland), sebaliknya di Jawa secara keseluruhan daratan pulau Jawa lebih sering mengalami gempa dangkal.

Dua faktor penyebabnya kemungkinan adalah: Pertama, sumber gempa dangkal di Sumatra lebih berasosiasi dengan aktifitas sesar-mendatar Sumatra; sedangkan di Jawa tidak terdapatnya suatu sistem sesar utama mengakibatkan gempa dangkal yang terjadi berasosiasi dengan aktifitas penunjaman lempeng di palung sehingga lebih mungkin ditransmisikan ke seluruh pulaunya.

Kedua, jarak palung ke daratan di Sumatra lebih jauh dibandingkan dengan yang di Jawa. Sementara itu jalur gunung-api aktif (yang biasanya berkaitan dengan kedalaman zona subduksi sekitar 100 km) di pulau Jawa terletak di bagian tengahnya, sedangkan di Sumatra jalur gunung-api aktifnya terletak di sisi barat dekat dengan pantai Samudera India. Hal ini menyebabkan aktifitas seismik di bagian kontinen yang dangkal lebih besar di Jawa daripada di Sumatra.

Kenampakan lain yang menarik perhatian dari Gambar-3A adalah terdapatnya “zona tenang” (silent zone) atau seismic gap di selatan Jawa di sekitar garis bujur 110° BT. Daerah zona tenang secara seismik ini memiliki lebar sekitar 75 km berarah utara-selatan terhadap palung Jawa. Aktifitas seismik kecil mungkin terjadi juga di silent zone ini, namun absennya gempa dengan magnitude >4 (bahkan di daerah sumbu palungnya) merupakan suatu fenomena yang harus dicermati.

Gambar-3B merupakan plot peristiwa gempa dengan magnitude >6 berdasarkan NOAA Data File. Peta ini memperlihatkan sejumlah peristiwa gempa di palung Sumatra yang secara umum jauh lebih besar kekuatannya dibandingkan dengan yang terjadi di Jawa. Ini menunjukkan gaya gesekan antar-lempeng lebih besar di Sumatra. Meskipun demikian, dua gempa besar dengan magnitude >8 terjadi juga di selatan Jawa yang menunjukkan secara lokal adanya zona tegasan kompresif yang tinggi di wilayah ini.

Untuk mengetahui apakah yang mendominasi dinamika penunjaman lempeng di tiga wilayah, Sumatra, Jawa, dan Nusa Tenggara, adalah faktor tektonik yang bersifat lokal atau regional, Ghose dan Oike (1988) mengevaluasi variasi temporal (menurut waktu kejadian) seismisitas di ketiga wilayah tersebut. Gambar-3C menunjukkan distribusi temporal gempa-gempa berkekuatan 6 atau lebih selama kurun waktu seabad (dari tahun 1900 sampai Mei 1981).

Pada gambar ini nampak bahwa hubungan antara banyaknya (N) peristiwa gempa dengan magnitude >6 terhadap waktu secara keseluruhan menunjukkan pola yang hampir mirip di ketiga wilayah tektonik Sumatra, Jawa, dan Nusa Tenggara. Antara tahun 1935-1940, jumlah gempa cenderung meningkat. Kemudian dari tahun 1940 sampai sekitar 1960, dalam kurun 20 tahun, terjadi sedikit gempa besar di seluruh ketiga segment Busur Sunda. Selanjutnya sampai Mei 1981, aktifitas seismik meningkat lagi. Kemiripan pola temporal seismisitasnya ini membuktikan bahwa variasi tegasan tektonik (tegasan kompresif akibat penunjaman lempeng Samudera India-Australia ke bawah Asia Tenggara) menurut waktu untuk ketiga segment busur Sunda adalah sama, dan mengontrol secara keseluruhan pola temporal jangka panjangnya.

Dalam jangka waktu yang panjang ini dinamika subduksi menimbulkan efek lokal yang berbeda-beda tergantung dari kondisi interaksi lempeng di masing-masing segment, misalnya pada Gambar-3D, dalam kurun waktu yang sama, yakni dari tahun 1900 sampai 1981, jumlah atau frekuensi gempa di Sumatra jauh lebih banyak dibandingkan yang terjadi di Jawa maupun di Nusa Tenggara. Dari sini dapat disimpulkan bahwa walaupun kondisi geodinamiknya berbeda secara spasial, bagi busur Sunda secara keseluruhan, periode naik-turunnya aktifitas gempa tidak dipengaruhi unsur spasialnya (atau lokasinya).
 

Post a Comment for "2. Dinamika Palung Jawa: Distribusi spasial dan temporal seismisitas"