MODEL-MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF
MODEL-MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF
Jurusan Pendidikan Fisika
FPMIPA Universitas Pendidikan GaneshaMakalah ini menyajikan tiga bagian pokok
tentang pembelajaran, yaitu
(1)Pembelajaran menurut
paradigma konstruktivistik,
(2) Model-Model Pembelajaran,
dan
(3) Penutup.
Model-model pembelajaran
tersebut, adalah model problem solving dan reasoning, model inquiry training,
model problem- based instruction, model pembelajaran perubahan konseptual,
model group investigation.
1. Pembelajaran menurut
Paradigma Konstruktivistik
Sebuah paradigma yang
mapan yang berlaku dalam sebuah sistem boleh jadi mengalami malfungsi apabila
paradigma tersebut masih diterapkan pada sistem yang telah mengalami perubahan.
Paradigma yang mengalami anomali tersebut cenderunG menimbulkan krisis. Krisis
tersebut akan menuntut terjadinya revoluasi ilmiah yang melahirkan paradigma
baru dalam rangka mengatasi krisis yang terjadi (Kuhn, 2002). Paradigma
konstruktivistik tentang pembelajaran merupakan paradigma alternatif yang muncul
sebagai akibat terjadinya revolusi ilmiah dari sistem pembelajaran yang cenderung
berlaku pada abad industri ke sistem pembelajaran yang semestinya berlaku pada
abad pengetahuan sekarang ini. Menurut paradigma konstruktivistik, ilmu
pengetahuan bersifat sementara terkait dengan perkembangan yang dimediasi baik
secara sosial maupun kultural, sehingga cenderung bersifat subyektif. Belajar menurut pandangan ini lebih sebagai
proses regulasi diri dalam menyelesikan konflik kognitif yang sering muncul
melalui pengalaman konkrit,wacana kolaboratif, dan interpretasi. Belajar adalah
kegiatan aktif siswa untuk membangunpengetahuannya. Siswa sendiri yang
bertanggung jawab atas peistiwa belajar dan hasilbelajarnya. Siswa sendiri yang
melakukan penalaran melalui seleksi dan organisasipengalaman serta
mengintegrasikannya dengan apa yang telah diketahui. Belajarmerupakan proses
negosiasi makna berdasarkan pengertian yang dibangun secara personal.Belajar
bermakna terjadi melalui refleksi, resolusi konflik kognitif, dialog, penelitian,pengujian hipotesis,
pengambilan keputusan, yang semuanya ditujukan untukmemperbaharui tingkat
pemikiran individu sehingga menjadi semakin sempurna.
Paradigma konstruktivistik
merupakan basis reformasi pendidikan saat ini. Menurut paradigma
konstruktivistik, pembelajaran lebih mengutamakan penyelesaian masalah, mengembangkan
konsep, konstruksi solusi dan algoritma ketimbang menghafal prosedur dan
menggunakannya untuk memperoleh satu jawaban benar. Pembelajaran lebih
dicirikanoleh aktivitas eksperimentasi, pertanyaan-pertanyaan, investigasi,
hipotesis, dan model-model yang dibangkitkan oleh siswa sendiri. Secara umum,
terdapat lima
prinsip dasaryang melandasi kelas konstruktivistik, yaitu
(1) meletakkan
permasalahan yang relevandengan kebutuhan siswa,
(2) menyusun pembelajaran
di sekitar konsep-konsep utama,
(3)menghargai pandangan
siswa,
(4) materi pembelajaran
menyesuaikan terhadap kebutuhansiswa,
(5) menilai pembelajaran
secara kontekstual.
Hal yang lebih penting,
bagaimana guru mendorong dan menerima otonomi siswa, investigasi bertolak dari
data mentah dan sumber-sumber primer (bukan hanya buku teks),menghargai pikiran
siswa, dialog, pencarian, dan teka-teki sebagai pengarah pembelajaran. Secara
tradisional, pembelajaran telah dianggap sebagai bagian “menirukan”suatu proses
yang melibatkan pengulangan siswa, atau meniru-niru informasi yang baru disajikan
dalam laporan atau quis dan tes. Menurut paradigma konstruktivistik, pembelajaran
lebih diutamakan untuk membantu siswa dalam menginternalisasi, membentuk
kembali, atau mentransformasi informasi baru. Untuk menginternalisasi serta
dapat menerapkan pembelajaran menurut paradigma konstruktivistik, terlebih dulu
guru diharapkan dapat merubah pikiran sesuai dengan pandangan konstruktivistik.
Guru konstruktivistik memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1. Menghargai otonomi dan
inisiatif siswa.
2. Menggunakan data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada keterampilan
berpikir kritis.
3. Mengutamakan kinerja siswa berupa mengklasifikasi, mengananalisis,
memprediksi, dan mengkreasi dalam mengerjakan tugas.
4. Menyertakan respon siswa dalam pembelajaran dan mengubah model atau
strategi pembelajaran sesuai dengan karakteristik materi pelajaran.
5. Menggali pemahaman siswa tentang konsep-konsep yang akan dibelajarkan
sebelum sharing pemahamannya tentang konsep-konsep tersebut.Makalah I Wayan
Santyasa
6. Menyediakan peluang kepada siswa untuk berdiskusi baik dengan dirinya
maupun dengan siswa yang lain.
7. Mendorong sikap inquiry siswa dengan pertanyaan terbuka yang menuntut
mereka untuk berpikir kritis dan berdiskusi antar temannya.
8. Mengelaborasi respon
awal siswa.
9. Menyertakan siswa dalam pengalaman-pengalaman yang dapat menimbulkan kontradiksi
terhadap hipotesis awal mereka dan kemudian mendorong diskusi.
10. Menyediakan kesempatan yang cukup kepada siswa dalam memikirkan dan mengerjakan
tugas-tugas.
1.1 Tujuan dan Hasil
Belajar
Seirama dengan kesesuaian
penerapan paradigma desain pembelajaran, tidak
terlepas pula dalam
penetapan tujuan belajar yang disasar dan hasil belajar yang
diharapkan.
Tujuan belajar menurut
paradigma konstruktivistik mendasarkan diri pada tiga
fokus belajar, yaitu:
(1) proses,
(2) tranfer belajar, dan
(3) bagaimana belajar.
1. Fokus yang
pertama—proses, mendasarkan diri pada nilai sebagai dasar untuk mempersepsi apa
yang terjadi apabila siswa diasumsikan belajar. Nilai tersebut didasari oleh
asumsi, bahwa dalam belajar, sesungguhnya siswa berkembang secara alamiah. Oleh
sebab itu, paradigma pembelajaran hendaknya mengembalikan siswa ke fitrahnya
sebagai manusia dibandingkan hanya menganggap mereka belajar hanya dari apa
yang dipresentasikan oleh guru. Implikasi nilai tersebut melahirkan komitmen
untuk beralih dari konsep pendidikan berpusat pada kurikulum menuju pendidikan
berpusat pada siswa. Dalam pendidikan
berpusat pada siswa, tujuan belajar lebih berfokus pada upaya bagaimana
membantu para siswa melakaukan revolusi kognitif. Model pembelajaran perubahan
konseptual (Santyasa, 2004) merupakan alternatif strategi pencapaian tujuan pembelajaran
tersebut. Pembelajaran yang fokus pada proses pembelajaran adalah suatu nilai
utama pendekatan konstruktivstik.
2. Fokus yang
kedua—transfer belajar, mendasarkan diri pada premis “siswa dapat menggunakan
dibandingkan hanya dapat mengingat apa yang dipelajari”. Satu nilai dapat dipetik dari premis tersebut, bahwa
meaningful learning harus diyakini memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan
dengan rote learning, dan deep understanding lebih baik dibandingkan senseless
memorization. Konsep belajar bermakna sesungguhnya telah dikenal sejak munculnya
psikologi Gestal dengan salah satu pelopornya Wertheimer (dalam Mayer, 1999).
Sebagai tanda pemahaman mendalam adalah kemampuan mentransfer apa yang
dipelajari ke dalam situasi baru.
3. Fokus yang
ketiga—bagimana belajar (how to learn) memiliki nilai yang lebih penting
dibandingkan dengan apa yang dipelajari (what to learn). Alternatif pencapaian learning
how to learn, adalah dengan memberdayakan keterampilan berpikir siswa. Dalam hal
ini, diperlukan fasilitas belajar untuk ketarampilan berpikir. Belajar berbasis
keterampilan berpikir merupakan dasar untuk mencapai tujuan belajar bagaimana
belajar (Santyasa, 2003). Desain pembelajaran yang konsisten dengan tujuan
belajar yang disasar tersebut tentunya diupayakan pula untuk mencapai hasil
belajar sesuai dengan yang diharapkan. Paradigma tentang hasil belajar yang
berasal dari tujuan belajar kekinian tersebut hendaknya bergeser dari no
learning dan rote learning menuju
constructivistic learning. No learning, miskin dengan retensi, transfer, dan
hasil belajar.
Siswa tidak menyediakan
perhatian terhadap informasi relevan yang diterimanya. Rote learning, hanyamampu
mengingat informasi-informasi penting dari pelajaran, tetapi tidak bias menampilkan
unjuk kerja dalam menerapkan informasi tersebut dalam memecahkan masalah-masalah
baru. Siswa hanya mampu menambah informasi dalam memori. Constructivist
learning dapat menampilkan unjuk kerja retensi dan transfer. Siswa mencoba
membuat gagasan tentang informasi yang diterima, mencoba mengembangkan model
mental dengan mengaitkan hubungan sebab akibat, dan menggunakan proses-proseskognitif
dalam belajar. Proses-proses kognitif utama meliputi penyediaan perhatian terhadap
informasi-informasi yang relevan dengan selecting, mengorganisasi infromasi- informasi
tersebut dalam representasi yang koheren melalui proses organizing, dan mengintegrasikan
representasi-representasi tersebut dengan pengetahuan yang telah ada dibenaknya
melalui proses integrating. Hasil-hasil belajar tersebut secara teoretik
menjaminsiswa untuk memperoleh keterampilan penerapan pengetahuan secara
bermakna.
1.2 Peranan Guru dalam
Pembelajaran
Menurut hasil forum
Carnegie tentang pendidikan dan ekonomi (Arend et al., 2001), di abad informasi
ini terdapat sejumlah kemampuan yang harus dimiliki oleh guru dalam
pembelajaran. Kemampuan-kemampuan tersebut, adalah memiliki pemahaman yangbaik
tentang kerja baik fisik maupun sosial, memiliki rasa dan kemampuan
mengumpulkandan menganalisis data, memiliki kemampuan membantu pemahaman siswa,
memilikikemampuan mempercepat kreativitas sejati siswa, dan memiliki kemampuan
kerja samadengan orang lain. Para guru
diharapkan dapat belajar sepanjang hayat seirama denganpengetahuan yang mereka
perlukan untuk mendukung pekerjaannya serta menghadapitantangan dan kemajuan
sains dan teknologi. Guru tidak diharuskan memiliki semuapengetahuan, tetapi
hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan yangmereka perlukan, di
mana memperolehnya, dan bagaimana memaknainya.
Para gurudiharapkan bertindak
atas dasar berpikir yang mendalam, bertindak independent dankolaboratif satu
sama lain, dan siap menyumbangkan pertimbangan-pertimbangan kritis.Para guru
diharapkan menjadi masyarakat memiliki pengetahuan yang luas dan pemahaman yang
mendalam. Di samping penguasaan materi, guru juga dituntut memiliki keragaman
model atau strategi pembelajaran, karena tidak ada satu model pembelajaran yang
dapat digunakan untuk mencapai tujuan belajar dari topik-topik yang beragam. Apabila konsep pembelajaran tersebut dipahami
oleh para guru, maka upaya mendesain pembelajaran bukan menjadi beban, tetapi
menjadi pekerjaan yang menantang.Konsep pembelajaran tersebut meletakkan
landasan yang meyakinkan bahwa peranan gurutidak lebih dari sebagai
fasilitator, suatu posisi yang sesuai dengan pandangankonstruktivistik. Tugas
sebagai fasilitator relatif lebih berat dibandingkan hanya sebagaitransmiter pembelajaran.
Guru sebagai fasilitator
akan memiliki konsekuensi langsungsebagai perancah, model, pelatih, dan
pembimbing. Di samping sebagai fasilitator, secara lebih spesifik peranan guru
dalam pembelajaran adalah sebagai expert learners, sebagai manager, dan sebagai
mediator. Sebagai expert learners, guru diharapkan memiliki pemahaman mendalam
tentang materi pembelajaran, menyediakan waktu yang cukup untuk siswa,
menyediakan masalah dan alternatif solusi, memonitor proses belajar dan
pembelajaran, merubah strategi siswa sulit mencapai tujuan, berusaha mencapai
tujuan kognitif, metakognitif, afektif, dan psikomotor siswa. Sebagai manager,
guru berkewajiban memonitor hasil belajar para siswa dan masalah-masalah yang
dihadapi mereka, memonitor disiplin kelas dan hubungan interpersonal, dan
memonitor ketepatan penggunaan waktu dalam menyelesaikan tugas.
Dalam hal ini, guru
berperan sebagai expert teacher yang memberi keputusan mengenai isi, menseleksi
proses-proses kognitif untuk mengaktifkan pengetahuan awal dan pengelompokan
siswa. Sebagai mediator, guru memandu mengetengahi antar siswa, membantu para
siswa memformulasikan pertanyaan atau mengkonstruksi representasi visual dari
suatu masalah, memandu para siswa mengembangkan sikap positif terhadap belajar,
pemusatan perhatian, mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan awal, dan
menjelaskan bagaimana mengaitkan gagasan-gagasan para siswa, pemodelan proses
berpikir dengan menunjukkan kepada siswa ikut berpikir kritis. Terkait dengan
desain pembelajaran, peran guru adalah menciptakan dan memahami sintaks
pembelajaran. Penciptaan sintaks pembelajaran yang berlandaskan pemahaman akan
mempermudah implementasi pembelajaran oleh guru lain atau oleh siswa itu
sendiri. Sintaks pembelajaran adalah langkah-langkah operasional yang
dijabarkan berdasarkan teori desain pembelajaran. Sintaks pembelajaran yang berlandaskan
paham konstruktivistik acap kali mengalami adaptasi sesuai dengan kebutuhan.
Hal ini menjadi penting untuk menyempurnakan sintaks yang rekursif, fleksibel,
dan dinamis.
1.3 Penggubahan Lingkungan
dan Sumber Belajar
Salah satu asas
pembelajaran yang harus dipahami adalah “membawa dunia siswa ke dunia guru dan
menghantarkan dunia guru ke dunia siswa”. Tujuannya, adalah untuk mengenali
potensi siswa dan memberdayakan potensi tersebut sehingga melahirkan pencerahan
bagi siswa itu sendiri. Alternatif upaya pemberdayaan tersebut dapat dilakukan dengan
penggubahan lingkungan dan sumber belajar. Termasuk lingkungan belajar adalah
sekolah, keluarga, masyarakat, pramuka, dan media masa. Termasuk sumber belajar
adalah guru, orang tua, teman dewasa, teman sebaya, bahan, alat, dan lingkungan
itu sendiri. Sumber belajar ada yang dirancang untuk pembelajaran (by design) dan ada pula
yang bukan dirancang khusus untuk pembelajaran, tetapi dapat digunakan untuk
keperluan pembelajaran (by utilization). Oleh karena pembelajaran merupakan
kegiatan rekayasa supaya terjadi peristiwa belajar, maka penggubahan lingkungan
dan sumber belajar di sini adalah terkait dengan upaya guru memfasilitasi siswa
untuk berinteraksi dengan lingkungan dan sumber belajar tersebut. Upaya ini
dilakukan baik pembelajaran harus terjadi di dalam kelas atau di luar kelas.
Jika pembelajaran terjadi di kelas, sifat-sifat kelas yang cenderung
multidimensi, keserentakan, kesegeraan, memunculkan kejadian yang tak dapat
diramalkan harus dipahami oleh guru agar terjadi interaksi yang efektif dalam
proses pembelajaran.
2. Model Pembelajaran
Gunter et al (1990:67) mendefinisikan an instructional model is a step-by-step procedure
that leads to specific learning outcomes. Joyce & Weil (1980)
mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan
sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Dengan demikian, model
pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
belajar. Jadi model pembelajaran cenderung preskriptif, yang relatif sulit
dibedakan dengan strategi pembelajaran. An instructional strategy is a method
for delivering instruction that is intended to help students achieve a learning
objective (Burden & Byrd, 1999:85). Selain memperhatikan rasional teoretik,
tujuan, dan hasil yang ingin dicapai, model pembelajaran memiliki lima unsur dasar (Joyce
& Weil (1980), yaitu
(1) syntax, yaitu langkah-langkah
operasional pembelajaran,
(2) social system, adalah
suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran,
(3) principles of reaction, menggambarkan bagaimana seharusnya guru
memandang, memperlakukan, dan merespon siswa,
(4) support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar
yang mendukung pembelajaran, dan
(5) instructional dan nurturant effects—hasil belajar yang diperoleh
langsung berdasarkan tujuan yang disasar (instructional effects) dan hasil
belajar di luar yang disasar (nurturant effects).
Berikut diberikan lima contoh model
pembelajaran yang memiliki kecenderungan berlandaskan paradigma
konstruktivistik, yaitu: model reasoning and problem solving, model inquiry
training, model problem-based instruction, model pembelajaran perubahan konseptual,
dan model group investigation.
2.1 Model Reasoning and
Problem Solving
Di abad pengetahuan ini,
isu mengenai perubahan paradigma pendidikan telah gencar didengungkan, baik
yang menyangkut content maupun pedagogy. Perubahan tersebut meliputi kurikulum,
pembelajaran, dan asesmen yang komprehensif (Krulik & Rudnick, 1996).
Perubahan tersebut merekomendasikan model reasoning and problem solving sebagai
alternatif pembelajaran yang konstruktif. Rasionalnya, bahwa kemampuan reasoning
and problem solving merupakan keterampilan utama yang harus dimiliki siswa ketika
mereka meninggalkan kelas untuk memasuki dan melakukan aktivitas di dunia nyata.
Reasoning merupakan bagian berpikir yang berada di atas level memanggil (retensi),
yang meliputi: basic thinking, critical thinking, dan creative thinking.
Termasuk basic thinking adalah kemampuan memahami konsep. Kemampuan-kemapuan critical thinking adalah
menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi aspek-aspek yang fokus pada masalah,
mengumpulkan dan mengorganisasi informasi, memvalidasi dan menganalisis informasi,
mengingat dan mengasosiasikan informasi yang dipelajari sebelumnya, menentukan
jawaban yang rasional, melukiskan kesimpulan yang valid, dan melakukan analisis
dan refleksi. Kemampuan-kemampuan creative thinking adalah menghasilkan produk
orisinil, efektif, dan kompleks, inventif, pensintesis, pembangkit, dan penerap
ide.
Problem adalah suatu
situasi yang tak jelas jalan pemecahannya yang mengkonfrontasikan individu atau
kelompok untuk menemukan jawaban dan problem solving adalah upaya individu atau
kelompok untuk menemukan jawaban berdasarkan pengetahuan, pemahaman,
keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya dalam rangka memenuhi tuntutan
situasi yang tak lumrah tersebut (Krulik & Rudnick, 1996). Jadi aktivitas
problem solving diawali dengan konfrontasi dan berakhir apabila sebuah jawaban telah
diperoleh sesuai dengan kondisi masalah. Kemampuan pemecahan masalah dapat diwujudkan
melalui kemampuan reasoning.
Model reasoning and
problem solving dalam pembelajaran memiliki lima langkah
pembelajaran (Krulik &
Rudnick, 1996), yaitu:
(1) membaca dan berpikir (mengidentifikasi
fakta dan masalah, memvisualisasikan situasi, mendeskripsikan pemecahan,
(2) mengeksplorasi dan merencanakan (pengorganisasian informasi, melukiskan
diagram pemecahan, membuat tabel, grafik, atau gambar),
(3) menseleksi strategi (menetapkan pola, menguji pola, simulasi atau
eksperimen, reduksi atau ekspansi, deduksi logis, menulis persamaan),
(4) menemukan jawaban (mengestimasi, menggunakan keterampilan komputasi,
aljabar, dan geometri),
(5) refleksi dan perluasan (mengoreksi jawaban, menemukan alternatif
pemecahan lain, memperluas konsep dan generalisasi, mendiskusikan pemecahan,
memformulasikan masalah-masalah variatif yang orisinil).
Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya
peran guru sebagai transmitter pengetahuan, demokratis, guru dan siswa memiliki
status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh
kesepakatan.
Prinsip reaksi yang
dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai konselor, konsultan, sumber
kritik yang konstruktif, fasilitator, pemikir tingkat tinggi. Peran
tersebutditampilkan utamanya dalam proses siswa melakukan aktivitas pemecahan
masalah. Sarana pembelajaran yang diperlukan adalah berupa materi konfrontatif
yang mampu membangkitkan proses berpikir dasar, kritis, kreatif, berpikir
tingkat tinggi, dan strategi pemecahan masalah non rutin, dan masalah-masalah
non rutin yang menantang siswa untuk melakukan upaya reasoning dan problem
solving. Sebagai dampak pembelajaran dalam model ini adalah pemahaman,
keterampilan berpikir kritis dan kreatif, kemampuan pemecahan masalah,
kemampuan komunikasi, keterampilan mengunakan pengetahuan secara bermakna.
Sedangkan dampak pengiringnya adalah hakikat
tentatif krilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi dan kebebasan
siswa, toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin.
2.2 Model Inquiry Training
Untuk model ini, terdapat
tiga prinsip kunci, yaitu pengetahuan bersifat tentatif,
manusia memiliki sifat
ingin tahu yang alamiah, dan manusia mengembangkan indivuality secara mandiri.
Prinsip pertama menghendaki proses penelitian secara berkelanjutan, prinsip
kedua mengindikasikan pentingkan siswa melakukan eksplorasi, dan yang ketiga kemandirian,
akan bermuara pada pengenalan jati diri dan sikap ilmiah. Model inquiry
training memiliki lima
langkah pembelajaran (Joyce & Weil, 1980), yaitu:
(1) menghadapkan masalah
(menjelaskan prosedur penelitian, menyajikan situasi yang saling bertentangan),
(2) menemukan masalah (memeriksa hakikat obyek dan kondisi yang dihadapi,
memeriksa tampilnya masalah),
(3) mengkaji data dan eksperimentasi (mengisolasi variabel yang sesuai,
merumuskan hipotesis),
(4) mengorganisasikan, merumuskan,
dan menjelaskan, dan
(5) menganalisis proses
penelitian untuk memperoleh prosedur yang lebih efektif.
Sistem sosial yang
mendukung adalah kerjasama, kebebasan intelektual, dan kesamaan derajat. Dalam
proses kerjasama, interaksi siswa harus didorong dan digalakkan. Lingkungan
intelektual ditandai oleh sifat terbuka terhadap berbagai ide yang relevan. Partisipasi
guru dan siswa dalam pembelajaran dilandasi oleh paradigma persamaan derajat dalam
mengakomodasikan segala ide yang berkembang. Prinsip-prinsip reaksi yang harus
dikembangkan adalah: pengajuan pertanyaan yang jelas dan lugas, menyediakan
kesempatan kepada siswa untuk memperbaiki pertanyaan, menunjukkan butir-butir
yang kurang sahih, menyediakan bimbingan tentang teori yang digunakan,
menyediakan suasana kebebasan intelektual, menyediakan dorongan dan dukungan
atas interaksi, hasil eksplorasi,formulasi, dan generalisasi siswa. Sarana pembelajaran
yang diperlukan adalah berupa materi konfrontatif yang mampu membangkitkan
proses intelektual, strategi penelitian, dan masalah yang menantang siswa untuk
melakukan penelitian. Sebagai dampak pembelajaran dalam model ini adalah
strategi penelitian dan semangat kreatif. Sedangkan dampak pengiringnya adalah
hakikat tentatif krilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi siswa,
toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin.
2.3 Model Problem-Based
Instruction
Problem-based instruction
adalah model pembelajaran yang berlandaskan paham konstruktivistik yang
mengakomodasi keterlibatan siswa dalam belajar dan pemecahan masalah otentik
(Arends et al., 2001). Dalam pemrolehan informasi dan pengembangan pemahaman
tentang topik-topik, siswa belajar bagaimana mengkonstruksi kerangka masalah,
mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah, mengumpulkan dan menganalisis
data, menyusun fakta, mengkonstruksi argumentasi mengenai pemecahan masalah,
bekerja secara individual atau kolaborasi dalam pemecahan masalah. Model
problem-based instruction memiliki lima
langkah pembelajaran (Arend et al., 2001), yaitu:
(1) guru mendefisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang berkaitan (masalah bisa untuk satu unit
pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu, dua, atau tiga minggu, bisa
berasal dari hasil seleksi guru atau dari eksplorasi siswa),
(2) guru membantu siswa mengklarifikasi masalah dan menentukan bagaimana
masalah itu diinvestigasi (investigasi melibatkan sumber-sumber belajar,
informasi, dan data yang variatif, melakukan surve dan pengukuran),
(3) guru membantu siswa menciptakan makna terkait dengan hasil pemecahan
masalah yang akan dilaporkan (bagaimana mereka memecahkan masalah dan apa rasionalnya),
(4) pengorganisasian laporan (makalah, laporan lisan, model, program
komputer, dan lain-lain), dan
(5) presentasi (dalam kelas melibatkan semua siswa, guru, bila perlu
melibatkan administator dan anggota masyarakat).
Sistem sosial yang
mendukung model ini adalah: kedekatan guru dengan siswa dalam proses
teacher-asisted instruction, minimnya peran guru sebagai transmitter pengetahuan,
interaksi sosial yang efektif, latihan investigasi masalah kompleks. Prinsip
reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai pembimbing dan
negosiator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan selama proses pendefinisian
dan pengklarifikasian masalah. Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah:
lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk
guru, artikel, jurnal, kliping, peralatan demonstrasi atau eksperimen yang
sesuai, model analogi, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau ruangan
kelas yang sudah ditata untuk itu. Dampak pembelajaran adalah pemahaman tentang
kaitan pengetahuan dengan dunia nyata, dan bagaimana menggunakan pengetahuan
dalam pemecahan masalah kompleks. Dampak pengiringnya adalah mempercepat
pengembangan self-regulated learning, menciptakan lingkungan kelas yang
demokratis, dan efektif dalam mengatasi keragaman siswa.
2.4 Model Pembelajaran
Perubahan Konseptual
Pengetahuan yang telah
dimiliki oleh seseorang sesungguhnya berasal dari pengetahuan yang secara
spontan diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan. Sementara pengetahuan
baru dapat bersumber dari intervensi di sekolah yang keduanya bisa konflik,
kongruen, atau masing-masing berdiri sendiri. Dalam kondisi konflik kognitif,
siswa dihadapkan pada tiga pilihan, yaitu:
(1) mempertahankan
intuisinya semula,
(2) merevisi sebagian
intuisinya melalui proses asimilasi, dan
(3) merubah pandangannya
yang bersifat intuisi tersebut dan mengakomodasikan pengetahuan baru.
Perubahan konseptual
terjadi ketika siswa memutuskan pada pilihan yang ketiga. Agar terjadi proses
perubahan konseptual, belajar melibatkan pembangkitan dan restrukturisasi konsepsi-konsepsi
yang dibawa oleh siswa sebelum pembelajaran (Brook & Brook, 1993). Ini
berarti bahwa mengajar bukan melakukan transmisi pengetahuan tetapi
memfasilitasi dan memediasi agar terjadi proses negosiasi makna menuju pada
proses perubahan konseptual (Hynd, et al,. 1994). Proses negosiasi makna tidak
hanya terjadi atas aktivitas individu secara perorangan, tetapi juga muncul
dari interaksi individu dengan orang
lain melalui peer mediated instruction. Costa (1999:27) menyatakan meaning
making is not just an individual operation, the individual interacts with
others to construct shared knowledge.
Model pembelajaran
perubahan konseptual memiliki enam langkah pembelajaran
(Santyasa, 2004), yaitu:
(1) Sajian masalah
konseptual dan kontekstual,
(2) konfrontasi miskonsepsi
terkait dengan masalah-masalah tersebut,
(3) konfrontasi sangkalan berikut strategi-strategi demonstrasi, analogi,
atau contoh contoh tandingan,
(4) konfrontasi pembuktian
konsep dan prinsip secara ilmiah,
(5) konfrontasi materi dan
contoh-contoh kontekstual,
(6) konfrontasi pertanyaan-pertanyaan untuk memperluas pemahaman dan penerapan
pengetahuan secara bermakna.
Sistem sosial yang mendukung model ini adalah:
kedekatan guru sebagai teman belajar siswa, minimnya peran guru sebagai
transmiter pengetahuan, interaksi sosial yang efektif, latihan menjalani
learning to be. Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru
sebagai fasilitator, negosiator, konfrontator. Peran-peran tersebut dapat
ditampilkan secara lisan atau tertulis melalui pertanyaan-pertanyaan resitasi
dan konstruksi. Pertanyaan resitasi bertujuan memberi peluang kepada siswa
memangil pengetahuan yang telah dimiliki dan pertanyaan konstruksi bertujuan
memfasilitasi, menegosiasi, dan mengkonfrontasi siswa untuk mengkonstruksi
pengetahuan baru. Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran
kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru,
peralatan demonstrasi atau eksperimen
yang sesuai, model analogi, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau ruangan
kelas yang sudah ditata untuk itu. Dampak pembelajaran dari model ini adalah:
sikap positif terhadap belajar, pemahaman secara mendalam, keterampilan
penerapan pengetahuan yang variatif. Dampak pengiringnya adalah: pengenalan
jati diri, kebiasaan belajar dengan bekerja, perubahan paradigma, kebebasan,
penumbuhan kecerdasan inter dan intrapersonal .
2.5 Model Group
Investigation
Ide model pembelajaran
geroup investigation bermula dari perpsektif filosofis terhadap konsep belajar.
Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan atau teman. Pada tahun
1916, John Dewey, menulis sebuah buku Democracy and Education (Arends, 1998).
Dalam buku itu, Dewey menggagas konsep pendidikan, bahwa kelas seharusnya
merupakan cermin masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar
tentang kehidupan nyata. Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob, et
al., 1996), adalah:
(1) siswa hendaknya aktif, learning by doing;
(2) belajar hendaknya didasari
motivasi intrinsik;
(3) pengetahuan adalah
berkembang, tidak bersifat tetap;
(4) kegiatan belajar
hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa;
(5) pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling
memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya prosedur demokratis
sangat penting;
(6) kegiatan belajar
hendaknya berhubungan dengan dunia nyata.
Gagasan-gagasan Dewey
akhirnya diwujudkan dalam model group-investigation yang kemudian dikembangkan
oleh Herbert Thelen. Thelen menyatakan bahwa kelas hendaknya merupakan miniatur
demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial antar pribadi (Arends,
1998). Model group-investigation
memiliki enam langkah pembelajaran (Slavin, 1995), yaitu: (1) grouping (menetapkan
jumlah anggota kelompok, menentukan sumber, memilih topik, merumuskan permasalahan),
(2) planning (menetapkan apa yang akan dipelajari, bagaimana mempelajari,
siapa melakukan apa, apa tujuannya),
(3) investigation (saling tukar informasi dan ide, berdiskusi,
klarifikasi, mengumpulkan informasi, menganalisis data, membuat inferensi),
(4) organizing (anggota kelompok menulis laporan, merencanakan presentasi
laporan, penentuan penyaji, moderator, dan notulis),
(5) presenting (salah satu kelompok menyajikan, kelompok lain mengamati,
mengevaluasi, mengklarifikasi, mengajukan pertanyaan atau tanggapan), dan
(6) evaluating
(masing-masing siswa melakukan koreksi terhadap laporan masing-masing
berdasarkan hasil diskusi
kelas, siswa dan guru berkolaborasi mengevaluasi pembelajaran yang dilakukan,
melakukan penilaian hasil belajar yang difokuskan pada pencapaian pemahaman.
Sistem sosial yang
berkembang adalah minimnya arahan guru, demokratis, guru dan siswa memiliki
status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan.
Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai konselor, konsultan,
sumber kritik yang konstruktif. Peran tersebut ditampilkan dalam proses pemecahan
masalah, pengelolaan kelas, dan pemaknaan perseorangan. Peranan guru terkait dengan
proses pemecahan masalah berkenaan dengan kemampuan meneliti apa hakikat dan
fokus masalah. Pengelolaan ditampilkan berkenaan dengan kiat menentukan
informasi yang diperlukan dan pengorganisasian kelompok untuk memperoleh
informasi tersebut. Pemaknaan perseorangan berkenaan dengan inferensi yang
diorganisasi oleh kelompok dan bagaimana membedakan kemampuan perseorangan. Sarana
pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar,
panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, peralatan penelitian yang
sesuai, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah
ditata untuk itu. Sebagai dampak pembelajaran adalah pandangan konstruktivistik
tentang pengetahuan, penelitian yang berdisiplin, proses pembelajaran yang
efektif, pemahaman yang mendalam. Sebagai dampak pengiring pembelajaran adalah
hormat terhadap HAM dan komitmen dalam bernegara, kebebasan sebagai siswa,
penumbuhan aspek sosial, interpersonal, dan intrapersonal.
3 Kesimpulan
Perencanaan pembelajaran
sangat penting untuk membantu guru dan siswa dalam mengkreasi, menata, dan
mengorganisasi pembelajaran sehingga memungkinkan peristiwa belajar terjadi dalam
rangka mencapai tujuan belajar. Model pembelajaran sangat diperlukan untuk
memandu proses belajar secara efektif. Model pembelajaran yang efektif adalah
model pembelajaran yang memiliki landasan teoretik yang humanistik, lentur,
adaptif, berorientasi kekinian, memiliki
pembelajaran yang
sedehana, mudah dilakukan, dapat mencapai tujuan dan hasil belajar yang
disasar.
Model pembelajaran yang
dapat diterapkan pada bidang studi hendaknya dikemas koheren dengan hakikat
pendidikan bidang studi tersebut. Namun, secara filosofis tujuan pembelajaran
adalah untuk memfasilitasi siswa dalam penumbuhan dan pengembangan kesadaran
belajar, sehingga mampu melakukan olah pikir, rasa, dan raga dalam memecahkan
masalah kehidupan di dunia nyata. Model-model pembelajaran yang dapat mengakomodasikan
tujuan tersebut adalah yang berlandaskan pada paradigma konstruktivistik
sebagai paradigma alternatif.Model problem solving and reasoning, model inquiry
training, model problem-based instruction, model conceptual change instruction,
model group investigation, dan masih banyak lagi model-model yang lain yang
berlandaskan paradigma konstruktivistik, adalah model-model pembelajaran
alternatif yang sesuai dengan hakikat pembelajaran humanis populis.
Post a Comment for "MODEL-MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF"