Sejarah Masa Orde Baru
Sejarah Masa Orde Baru dan Latar Belakang
Pengertian Masa Orde
Baru
Orde Baru adalah suatu periode dalam sejarah politik Indonesia
yang ditandai oleh rezim kepemimpinan Soeharto. Diperkenalkan setelah kekacauan
politik yang dipicu oleh Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI), masa ini
menandakan pergeseran dari kebijakan dan pemerintahan sebelumnya menuju tatanan
baru yang mengutamakan stabilitas dan tata kelola negara yang lebih teratur.
Latar Belakang
Terbentuknya Orde Baru
Orde Baru muncul sebagai
respons terhadap situasi krisis politik dan ekonomi yang terjadi di Indonesia
pada akhir tahun 1960-an. Berbagai faktor mempengaruhi terbentuknya Orde Baru:
·
G30S/PKI: Gerakan ini, yang melibatkan anggota Partai Komunis
Indonesia (PKI), menculik dan membunuh beberapa perwira tinggi TNI AD dan warga
sipil. Kejadian ini menyebabkan kekacauan besar-besaran di negeri ini.
·
Ketidakstabilan Politik: Saat itu, situasi politik Indonesia
sangat kacau dan tidak stabil. Kekerasan politik dan pemberontakan PKI
mengancam keberlangsungan negara.
·
Masyarakat Menuntut Perubahan: Masyarakat menuntut perubahan
besar-besaran, baik dari segi politik maupun ekonomi, dan menginginkan
peningkatan kondisi sosial.
·
Supersemar: Surat Perintah Sebelas Maret yang dikeluarkan oleh
Soekarno memberikan kewenangan kepada Soeharto untuk mengambil langkah-langkah
yang dianggap diperlukan untuk menjaga stabilitas nasional. Hal ini menjadi
pemicu berdirinya Orde Baru.
Tujuan dan Kebijakan Pemerintahan Orde Baru
Tujuan utama Orde Baru adalah menciptakan stabilitas politik,
ekonomi, dan sosial di Indonesia setelah periode krisis yang melanda.
Langkah-langkah yang diambil termasuk menghilangkan ancaman komunisme,
memperkuat nilai-nilai Pancasila, dan memulihkan ketertiban sosial serta
ekonomi negara. Dalam upaya mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintahan Orde Baru
melakukan beberapa langkah kebijakan, termasuk melakukan reformasi ekonomi,
menekan inflasi, meningkatkan keamanan nasional, dan mengembalikan stabilitas
politik. Fokus utama pemerintahan ini adalah:
·
Kebijakan Anti-Komunis:
Menyelamatkan negara dari ancaman ideologi komunis yang dianggap mengganggu
stabilitas.
·
Pengembalian Nilai-Nilai Pancasila: Memulihkan nilai-nilai
nasionalisme, agama, demokrasi, dan keadilan sosial sebagai dasar negara.
·
Pemulihan Ekonomi: Meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menekan
inflasi untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi rakyat.
Orde Baru (sering kali disingkat Orba) adalah sebutan bagi masa
pemerintahan Presiden Jenderal Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan
Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Lahirnya Orde Baru
diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966.[3] Orde Baru
berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi
Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik
korupsi yang merajalela dan pengekangan kebebasan berpendapat.
Meski telah merdeka, Indonesia pada tahun 1950 hingga 1960-an
berada dalam kondisi yang relatif tidak stabil.[4] Bahkan, setelah Belanda
secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, keadaan politik
maupun ekonomi di Indonesia masih labil karena ketatnya persaingan di antara
kelompok-kelompok politik.[4] Keputusan Soekarno untuk mengganti sistem
parlemen dengan Demokrasi Terpimpin memperparah kondisi ini dengan memperuncing
persaingan antara angkatan bersenjata dengan Partai Komunis Indonesia, yang
kala itu berniat mempersenjatai diri.[4] Sebelum sempat terlaksana, peristiwa
Gerakan 30 September terjadi dan mengakibatkan diberangusnya Partai Komunis
Indonesia dari Indonesia.[4] Sejak saat itu, kekuasaan Soekarno perlahan-lahan
mulai melemah.
Supersemar
dan kebangkitan
Kelahiran
Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar)
Di kemudian hari, Supersemar diketahui memiliki beberapa versi.
Gambar ini merupakan Supersemar versi Presiden.
Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) pada tahun 1966, yang kemudian menjadi dasar legalitasnya.[3] Orde
Baru bertujuan meletakkan kembali tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan
negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.[3]
Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada
tanggal 11 Maret 1966. Saat itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang
dipimpin oleh Presiden Soekarno sedang berlangsung.[6] Di tengah-tengah acara,
ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana terdapat pasukan yang tidak
dikenal.[3] Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden Soekarno
menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr.
Johannes Leimena dan berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh Waperdam I
Dr Subandrio, dan Waperdam III Chaerul Saleh.[6] Leimena sendiri menyusul
presiden segera setelah sidang berakhir.
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal
Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud
bertemu dengan Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat
dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib)
untuk meminta izin menghadap presiden.[6] Segera setelah mendapat izin, pada
hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor dengan tujuan
melaporkan kondisi di ibu kota Jakarta meyakinkan Presiden Soekarno bahwa
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, khususnya Angkatan Darat, dalam kondisi
siap siaga.[6] Namun, mereka juga memohon agar Presiden Soekarno mengambil
tindakan untuk mengatasi keadaan ini.[6]
Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat
perintah yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima
Angkatan Darat untuk mengambil tindakan dalam rangka menjamin keamanan,
ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa dan negara
Republik Indonesia.[6] Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu oleh tiga
perwira tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M.
Yusuf, Brigadir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Sabur, Komandan
Pasukan Pengawal Presiden Tjakrabirawa. Surat perintah inilah yang kemudian
dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret,
Letnan Jenderal Soeharto mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret
1966, ia mengeluarkan surat keputusan yang berisi pembubaran dan larangan bagi
Partai Komunis Indonesia serta ormas-ormas yang bernaung dan berlindung atau
senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah Indonesia.[6]
Keputusan ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti
ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966.[7] Keputusan pembubaran
Partai Komunis Indonesia beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan
karena merupakan salah satu realisasi dari Tritura.
Pemberangusan
Partai Komunis Indonesia
Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang
menteri yang dinilai tersangkut dalam Gerakan 30 September dan diragukan etika
baiknya yang dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret
1966.[7] Ia kemudian memperbaharui Kabinet Dwikora yang disempurnakan dan membersihkan
lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR, dari orang-orang yang dianggap
terlibat Gerakan 30 September.[7] Keanggotaan Partai Komunis Indonesia dalam
MPRS dinyatakan gugur.[7] Peran dan kedudukan MPRS juga dikembalikan sesuai
dengan UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan sebaliknya.[8] Di DPRGR sendiri,
secara total ada 62 orang anggota yang diberhentikan.[7] Letnan Jenderal
Soeharto juga memisahkan jabatan pimpinan DPRGR dengan jabatan eksekutif
sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri.[7]
Pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli 1966, diadakanlah Sidang Umum
IV MPRS dengan hasil sebagai berikut:
·
Ketetapan MPRS No.
IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan Supersemar.[9] Selain mengangkat
Supersemar menjadi Ketetapan MPRS, Ketetapan MPRS ini menyatakan bahwa
Supersemar hanya berlaku hingga "Terbentuknya Majelis Permusyawaratan
Rakyat Hasil Pemilihan Umum."
·
Ketetapan MPRS No.
X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan
Daerah.[9]
·
Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Politik
Luar Negeri RI Bebas Aktif.[9]
·
Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet
Ampera.[9]
·
Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Tap.
MPRS yang Bertentangan dengan UUD 1945.[9]
·
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI
dan Tata Urutan Perundang-undangan di Indonesia.[9] Ketetapan MPRS ini—yang
banyak terinspirasi oleh Teori Hukum Murni Hans Kelsen—menyatakan sumber hukum
RI adalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Dekrit Presiden Republik Indonesia
1959, Undang-Undang Dasar 1945, dan Supersemar itu sendiri, serta memisahkan
(decoupling) Pancasila menjadi norma dasar (grundnorm) sumber segala hukum di
Indonesia, termasuk Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri.
·
Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai
Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah
Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan
untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme.[9] "Komunisme/Marxisme-Leninisme" (sic)
dalam Penjelasan Ketetapan MPRS ini termasuk "[p]aham atau ajaran ... yang
terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang diajarkan oleh Lenin, Stalin,
Mao Tse Tung dan lain-lain..."; namun, Ketetapan ini memperbolehkan
"[pembelajaran] secara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, paham
Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila ... secara
terpimpin, dengan ketentuan, bahwa Pemerintah dan DPR-GR, diharuskan mengadakan
perundang-undangan untuk pengamanan."
Hasil dari Sidang Umum IV MPRS ini menjadi landasan awal
tegaknya Orde Baru dan dinilai berhasil memenuhi dua dari Tritura, yaitu
pembubaran Partai Komunis Indonesia dan pembersihan kabinet dari unsur-unsur
Partai Komunis Indonesia.[9]
Selain dibubarkan dan dibersihkan, kader-kader Partai Komunis
Indonesia juga dibantai khususnya di wilayah pedesaan-pedesaan di pulau
Jawa.[10] Pembantaian ini tidak hanya dilakukan oleh angkatan bersenjata.
Namun, juga oleh rakyat biasa yang dipersenjatai.[10] Selain kader, ribuan
pegawai negeri, ilmuwan, dan seniman yang dianggap terlibat juga ditangkap dan
dikelompokkan berdasarkan tingkat keterlibatannya dengan Partai Komunis
Indonesia.[10] Sebagian diasingkan ke Pulau Buru, sebuah pulau kecil di wilayah
Maluku.[11] Sejak pertengahan dekade 1980-an, pada tanggal 30 September setiap
tahunnya, pemerintah menayangkan film yang menggambarkan Partai Komunis
Indonesia sebagai organisasi yang keji.[4]
Pembentukan Kabinet
Ampera
Dalam rangka memenuhi tuntutan ketiga Tritura, Letnan Jenderal
Soeharto dengan dukungan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet
baru yang diberi nama Kabinet Ampera.[12] Tugas utama Kabinet Ampera adalah
menciptakan stabilitas ekonomi dan stabilitas politik, atau dikenal dengan nama
Dwidarma Kabinet Ampera.[12] Program kerja yang dicanangkan Kabinet Ampera
disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:[12]
1. memperbaiki
perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan;
2. melaksanakan
pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam Ketetapan MPRS No.
XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
3. melaksanakan
politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai
dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
4. melanjutkan
perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya.
Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun
pelaksanaannya dilakukan oleh Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jenderal
Soeharto.[12] Akibatnya, muncul dualisme kepemimpinan yang menjadi kondisi
kurang menguntungkan bagi stabilitas politik saat itu.[12]
Soekarno kala itu masih memiliki pengaruh politik, namun
kekuatannya perlahan-lahan dilemahkan.[5] Kalangan militer, khususnya yang
mendapatkan pendidikan di negara Barat, keberatan dengan kebijakan pemerintah
Soekarno yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia.[5] Mengalirnya bantuan
dana dari Uni Soviet dan Tiongkok pun semakin menambah kekhawatiran bahwa
Indonesia bergerak menjadi negara komunis.[5]
Akhirnya pada 22 Februari 1967, untuk mengatasi situasi konflik
yang semakin memuncak kala itu, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada
Jenderal Soeharto.[12] Penyerahan ini tertuang dalam Pengumuman Presiden
Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI Tanggal 20 Februari 1967.[12]
Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 yang menyatakan
apabila presiden berhalangan, pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 berfungsi
sebagai pemegang jabatan presiden.[12] Pada 4 Maret 1967, Jenderal Soeharto memberikan
keterangan pemerintah di hadapan sidang DPRHR mengenai terjadinya penyerahan
kekuasaan.[12] Namun, pemerintah tetap berpendirian bahwa sidang MPRS perlu
dilaksanakan agar penyerahan kekuasaan tetap konstitusional.[12] Karena itu,
diadakanlah Sidang Istimewa MPRS pada tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta, yang
akhirnya secara resmi mengangkat Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia
hingga terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.[12]
Kebijakan ekonomi
Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita)
Di awal kekuasaannya, Pemerintah Orde Baru mewarisi kemerosotan
ekonomi yang ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya.[13] Kemerosotan ekonomi
ini ditandai oleh rendahnya pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang hanya
mencapai 70 dollar AS, tingginya inflasi yang mencapai 65%, serta hancurnya
sarana-sarana ekonomi akibat konflik yang terjadi di akhir pemerintahan
Soekarno[13]
Untuk mengatasi kemerosotan ini, pemerintah Orde Baru membuat
program jangka pendek berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan
kepada pengendalian inflasi dan usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan
kegiatan ekonomi, dan pencukupan kebutuhan sandang.[14] Program jangka pendek
ini diambil dengan pertimbangan apabila inflasi dapat dikendalikan dan stabilitas
tercapai, kegiatan ekonomi akan pulih dan produksi akan meningkat.[14]
Soeharto kemudian memulihkan ekonomi dengan meminjam hutang
kembali dan meminta untuk hutang sebelumnya untuk ditangguhkan.[15]
Mulai tanggal 1 April 1969, pemerintah menciptakan landasan
untuk pembangunan yang disebut sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita).[14] Repelita pertama yang mulai dilaksanakan tahun 1969 tersebut
fokus pada rehabilitasi prasarana penting dan pengembangan iklim usaha dan
investasi.[14] Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas untuk memenuhi
kebutuhan pangan sebelum membangun sektor-sektor lain.[14] Pembangunan antara
lain dilaksanakan dengan membangun prasana pertanian seperti irigasi,
perhubungan, teknologi pertanian, kebutuhan pembiayaan, dan kredit
perbankan.[14] Petani juga dibantu melalui penyediaan sarana penunjang utama
seperti pupuk hingga pemasaran hasil produksi.[14]
Repelita I membawa pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3%
menjadi 6,7% per tahun, pendapatan perkapita meningkat dari 80 dolar AS menjadi
170 dolar AS, dan inflasi dapat ditekan menjadi 47,8% pada akhir Repelita I
pada tahun 1974.[14] Repelita II (1974-1979) dan Repelita III (1979-1984) fokus
pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional, dan pemerataan pembangunan
dengan penekanan pada sektor pertanian dan industri yang mengolah bahan mentah
menjadi bahan baku.[14] Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai status
swasembada beras dari yang tadinya merupakan salah satu negara pengimpor beras
terbesar di dunia pada tahun 1970-an.[14] Fokus Repelita IV (1984-1989) dan
Repelita V (1989-1994), selain berusaha mempertahankan kemajuan di sektor
pertanian, juga mulai bergerak menitikberatkan pada sektor industri khususnya
industri yang menghasilkan barang ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja,
industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang dapat menghasilkan
mesin-mesin industri.[16]
Swasembada beras
Sejak awal berkuasa, pemerintah Orde Baru menitikberatkan
fokusnya pada pengembangan sektor pertanian karena menganggap ketahanan pangan
adalah prasyarat utama kestabilan ekonomi dan politik.[17] Sektor ini
berkembang pesat setelah pemerintah membangun berbagai prasarana pertanian
seperti irigasi dan perhubungan, teknologi pertanian, hingga penyuluhan bisnis.[17]
Pemerintah juga memberikan kepastian pemasaran hasil produksi melalui lembaga
yang diberi nama Bulog (Badan Urusan Logistik).[17]
Mulai tahun 1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil pertanian
meningkat tajam.[17] Pada tahun 1962, misalnya, produksi padi hanya mencapai
17.156 ribu ton.[17] Jumlah ini berhasil ditingkatkan tiga kali lipat menjadi
47.293 ribu ton pada tahun 1992, yang berarti produksi beras per jiwa meningkat
dari 95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa.[17] Prestasi ini merupakan sebuah prestasi
besar mengingat Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor beras
terbesar di dunia pada tahun 1970-an.[17]
Pemerataan kesejahteraan
penduduk
Pemerintah juga berusaha mengiringi pertumbuhan ekonomi dengan
pemerataan kesejahteraan penduduk melalui program-program penyediaan kebutuhan
pangan, peningkatan gizi, pemerataan pelayanan kesehatan, keluarga berencana,
pendidikan dasar, penyediaan air bersih, dan pembangunan perumahan
sederhana.[17] Strategi ini dilaksanakan secara konsekuen di setiap pelita.[18]
Berkat usaha ini, penduduk Indonesia berkurang dari angka 60% pada tahun
1970-an ke angka 15% pada tahun 1990-an.[18] Pendapatan perkapita masyarakat
juga naik dari yang hanya 70 dolar per tahun pada tahun 1969, meningkat menjadi
600 dolar per tahun pada tahun 1993.[17]
Pemerataan ekonomi juga diiringi dengan adanya peningkatan usia
harapan hidup, dari yang tadinya 50 tahun pada tahun 1970-an menjadi 61 tahun
di 1992.[17] Dalam kurun waktu yang sama, angka kematian bayi juga menurun dari
142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap 1.000 kelahiran
hidup.[17] Jumlah penduduk juga berhasil dikendalikan melalui program Keluarga
Berencana (KB).[17] Selama dasawarsa 1970-an, laju pertumbuhan penduduk
mencapai 2,3% per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka tersebut dapat
diturunkan menjadi 2,0% per tahun.[17]
Penataan Kehidupan
Politik
Pembubaran Partai
Komunis Indonesia dan Organisasi masanya
Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas
pemerintahan, Soeharto sebagai pengemban Supersemar telah mengeluarkan
kebijakan:[19]
·
Membubarkan Partai Komunis Indonesia pada tanggal 12 Maret 1966
yang diperkuat dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966
·
Menyatakan Partai Komunis Indonesia sebagai partai terlarang di
Indonesia
·
Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang
dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965.
Penyederhanaan Partai
Politik
Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama
pada masa Orde Baru pemerintahan pemerintah melakukan penyederhanaan dan
penggabungan (fusi) partai- partai politik menjadi tiga kekuatan sosial
politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak didasarkan pada
kesamaan ideologi, tetapi lebih atas persamaan program. Tiga kekuatan sosial
politik itu adalah: [19]
·
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari
NU, Parmusi, PSII, dan PERTI
·
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari
PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo
·
Golongan Karya
Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah
Orde Baru dalam upaya menciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengalaman sejarah pada masa pemerintahan sebelumnya telah memberikan
pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi di masa Orde Lama, karena adanya perbedaan
ideologi politik dan ketidakseragaman persepsi serta pemahaman Pancasila
sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia.
Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali
pemilihan umum, yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam
setiap Pemilu yang diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar
selalu memenangkan Pemilu.[20]
Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa
pemerintahan Orde Baru, Golkar memperoleh 74,51% dengan perolehan 325 kursi di
DPR.[21] Ini merupakan perolehan suara terbanyak Golkar dalam pemilu.[22]
Adapun PPP memperoleh 89 kursi dan PDI mengalami kemorosotan perolehan suara
dengan hanya mendapat 11 kursi di DPR.[23]
Kemorosotan perolehan suara PDIP disebabkan adanya konflik
intern di tubuh partai berkepala banteng tersebut.[butuh rujukan] PDI akhirnya
pecah menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang menjadi
PDIP. Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru
telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan
baik.[butuh rujukan] Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung,
umum, bebas, dan rahasia). Namun dalam kenyataannya, Pemilu diarahkan untuk
kemenangan salah satu kontestan Pemilu saja yaitu Golkar. Kemenangan Golkar
yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan
pemerintah yang perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi oleh Golkar.
Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia
selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota
MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan
lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa
catatan.[butuh rujukan]
Peran Ganda (Dwi Fungsi)
ABRI
Menurut Connie Rahakundini Bakrie, Orde Baru menempatkan militer
sebagai pemain sentral dalam perpolitikan melalui doktrin Dwi Fungsi ABRI.[24]
Selain menjadi angkatan bersenjata, ABRI juga memegang fungsi politik,
menjadikannya organisasi politik terbesar di negara. Timbulnya pemberian peran
ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan
pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di MPR
dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui
Pemilu.[butuh rujukan]
Dasar hukum pelaksanaan Dwifungsi ABRI di antaranya yakni
Ketetapan MPR, yaitu sejak TAP MPR(S) No. II Tahun 1969 hingga TAP MPR No. IV
Tahun 1978.[25] Selain itu, dasar hukumnya yakni Undang-Undang (UU) No. 15 dan
16 tahun 1969 yang diperbarui menjadi UU No. 4 dan 5 tahun 1975.[26] Pengukuhan
peran ABRI sebagai kekuatan sosial politik ditegaskan dalam UU No. 20 Tahun
1982.[27] Dalam penjelasan pasalnya disebutkan bahwa prajurit ABRI dalam bidang
sosial politik bertindak selaku dinamisator dan stabilisator.[28] Peran
dinamisator sebenarnya telah diperankan ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan.
Waktu itu Jenderal Soedirman telah melakukannya dengan meneruskan perjuangan,
walaupun pemimpin pemerintahan telah ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang
dilakukan Soeharto ketika menyelamatkan bangsa dari perpecahan setelah Gerakan
30 September, yang melahirkankan Orde Baru.
Sistem ini memancing kontroversi di tubuh ABRI sendiri.[29]
Banyak perwira, khususnya mereka yang berusia muda, menganggap bahwa sistem ini
mengurangi profesionalitas ABRI.[29] Masuknya pendidikan sosial dan politik
dalam akademi militer mengakibatkan waktu mempelajari strategi militer
berkurang.[29]
Secara kekuatan, ABRI juga menjadi lemah dibandingkan negara
Asia Tenggara lainnya.[29] Saat itu, hanya ada 533.000 prajurit ABRI, termasuk
Polisi yang kala itu masih menjadi bagian dari ABRI.[29] Angka ini, yang hanya
mencakup 0,15 persen dari total populasi, sangat kecil dibanding Singapura
(2,06%), Thailand (0,46%), dan Malaysia (0,68%).[29] Pendanaan yang didapatkan
ABRI pun tak kalah kecil, hanya sekitar 1,96% dari total PDB, sementara
angkatan bersenjata Singapura mendapatkan 5,48% dan Thailand 3,26%.[29] Selain
itu, peralatan dan perlengkapan yang dimiliki juga sedikit; ABRI hanya memiliki
100 tank besar dan 160 tank ringan.[29]
Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4)
Artikel utama: Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan
gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang
terkenal dengan nama Ekaprasatya Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4).[butuh rujukan] Untuk mendukung pelaksanaan Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, maka sejak tahun 1978
pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan
masyarakat. Penataran P4 ini bertujuan membentuk pemahaman yang sama mengenai
demokrasi Pancasila, sehingga dengan adanya pemahaman yang sama terhadap
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan persatuan dan kesatuan
nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut opini
rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde
Baru.[butuh rujukan] Sehingga sejak tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila
sebagai asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi. Semua bentuk organisasi
tidak boleh menggunakan asasnya selain Pancasila. Menolak Pancasila sebagai
sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi
ideologi, dan Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya,
dan sistem sosial masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan prestasi tertinggi
Orde Baru, dan oleh karenanya maka semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama
Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan
industri Pancasila, demokrasi Pancasila, dan sebagainya. Pancasila dianggap
memiliki kesakralan (kesaktian) yang tidak boleh diperdebatkan.[butuh rujukan]
Penataan Politik Luar Negeri
Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia yang bebas
aktif kembali dipulihkan. MPR mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi
landasan politik luar negeri Indonesia. Pelaksanaan politik luar negeri
Indonesia harus didasarkan pada kepentingan nasional, seperti pembangunan
nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.[butuh rujukan]
Kembali menjadi anggota PBB
Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan untuk kembali menjadi anggota PBB
dikarenakan pemerintah sadar bahwa banyak manfaat yang diperoleh Indonesia
selama menjadi anggota pada tahun 1955-1964.[butuh rujukan] Kembalinya
Indonesia menjadi anggota PBB disambut baik oleh negara-negara Asia lainnya
bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Adam Malik
sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Dan Indonesia juga
memulihkan hubungan dengan sejumlah negara seperti India, Thailand, Australia,
dan negara-negara lainnya yang sempat renggang akibat politik konfrontasi Orde
Lama.
Normalisasi Hubungan
dengan Negara lain
Pemulihan Hubungan
dengan Singapura
Dengan perantaraan Dubes
Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman, hubungan Indonesia dengan Singapura
berhasil dipulihkan kembali.[butuh rujukan] Pada tanggal 2 Juni 1966 pemerintah
Indonesia menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura kepada Perdana
Menteri Lee Kuan Yew.[butuh rujukan] Lalu pemerintah Singapura menyampaikan
nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Pemulihan Hubungan dengan Malaysia
Normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan
diadakannya perundingan di Bangkok pada 29 Mei - 1 Juni 1966 yang menghasilkan
Perjanjian Bangkok. Isi perjanjian tersebut adalah:[30]
1. Rakyat
Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah mereka ambil
mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
2. Pemerintah
kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
3. Tindakan
permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan
pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik
(Indonesia) dan Tun Abdul Razak (Malaysia).
Pembekuan Hubungan
dengan RRT
Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintah Republik Indonesia
membekukan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Keputusan
tersebut dilakukan karena RRT telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia
dengan cara memberikan bantuan kepada Gerakan 30 September baik untuk
persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah terjadinya pemberontakan tersebut.[butuh
rujukan] Selain itu pemerintah Indonesia merasa kecewa dengan tindakan teror
yang dilakukan orang-orang Cina terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Peking. Pemerintah RRT juga telah
memberikan perlindungan kepada tokoh-tokoh Gerakan 30 September di luar negeri,
serta secara terang-terangan menyokong bangkitnya kembali Partai Komunis
Indonesia. Melalui media massanya RRT telah melakukan kampanye menyerang Orde
Baru. Pada 30 Oktober 1967, Pemerintah Indonesia secara resmi menutup Kedutaan
Besar di Peking.[butuh rujukan]
Penataan Kehidupan
Ekonomi
Stabilisasi dan
Rehabilitasi Ekonomi
Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan
pemerintah Orde Lama, pemerintah Orde Baru melakukan langkah-langkah:
·
Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan.
Kebijakan ini didasari oleh Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.[31]
·
MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program
penyelamatan serta program stabilisasi dan rehabilitasi.
Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi
nasional, terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan
stabilisasi ekonomi berarti mengendalikan inflasi agar harga barang-barang
tidak melonjak terus. Rehabilitasi ekonomi adalah perbaikan secara fisik sarana
dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem
ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah
terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Langkah-langkah yang diambil Kabinet Ampera yang mengacu pada
Ketetapan MPRS tersebut adalah:
·
Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang
menyebabkan kemacetan. Adapun yang menyebabkan terjadinya kemacetan ekonomi
tersebut adalah:
1. Rendahnya penerimaan negara.
2. Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran
negara.
3. Terlalu banyak dan tidak efisiennya
ekspansi kredit bank.
4. Terlalu banyak tunggakan hutang luar
negeri.
5. Penggunaan devisa bagi impor yang sering
kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
·
Debirokrasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian
·
Berorientasi pada kepentingan produsen kecil
Untuk melaksanakan langkah-langkah
penyelamatan tersebut, maka pemerintah Orde Baru menempuh cara:[butuh rujukan]
·
Mengadakan operasi pajak
·
Melaksanakan sistem pemungutan pajak baru, baik bagi pendapatan
perorangan maupun kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan menghitung
pajak orang.
·
Menghemat pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan
rutin), serta menghapuskan subsidi bagi perusahaan Negara
·
Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.
Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membendung laju
inflasi. Pemerintah Orde Baru berhasil membendung laju inflasi pada akhir tahun
1967-1968, tetapi harga bahan kebutuhan pokok naik melonjak. Sesudah dibentuk
Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968, pemerintah mengalihkan kebijakan
ekonominya pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga barang khususnya
sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu ekonomi nasional relatif
stabil, sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing sejak tahun
1969 dapat dikendalikan pemerintah.[butuh rujukan]
Program rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan
kemampuan berproduksi. Selama sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde
Lama, Indonesia mengalami kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana sosial dan
ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi, dan perbankan
disalahgunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan kelompok kepentingan
tertentu. Dampaknya, lembaga negara tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai
penyusun perbaikan tata kehidupan rakyat.[butuh rujukan]
Kerjasama Luar Negeri
·
Pertemuan Tokyo
Selain mewariskan keadaan ekonomi yang sangat
parah, pemerintahan Orde Lama juga mewariskan utang luar negeri yang sangat
besar, yakni mencapai 2,2 - 2,7 miliar, sehingga
pemerintah Orde Baru meminta negara-negara
kreditor untuk dapat menunda pembayaran kembali utang Indonesia. Pada tanggal
19-20 September 1966 pemerintah Indonesia mengadakan perundingan dengan
negara-negara kreditor di Tokyo.[butuh rujukan] Pemerintah Indonesia akan
melakukan usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan digunakan
untuk membayar utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-bahan
baku. Hal ini mendapat tanggapan baik dari negara-negara kreditor.
Perundinganpun dilanjutkan di Paris, Prancis dan dicapai kesepakatan sebagai
berikut:[butuh rujukan]
1. Pembayaran
hutang pokok dilaksanakan selama 30 tahun, dari tahun 1970 sampai dengan 1999.
2. Pembayaran
dilaksanakan secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang sama besarnya.
3. Selama
waktu pengangsuran tidak dikenakan bunga.
4. Pembayaran
hutang dilaksanakan atas dasar prinsip nondiskriminatif, baik terhadap negara
kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.
·
Pertemuan Amsterdam
Pada tanggal 23-24 Februari 1967 diadakan
perundingan di Amsterdam, Belanda yang bertujuan membicarakan kebutuhan
Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan pemberian bantuan dengan
syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI (Intergovernmental Group for
Indonesia). Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut untuk memenuhi
kebutuhannya guna pelaksanaan program-program stabilisasi dan rehabilitasi
ekonomi serta persiapan-persiapan pembangunan.[butuh rujukan] Di samping
mengusahakan bantuan luar negeri tersebut, pemerintah juga telah berusaha
mengadakan penangguhan serta memperingan syarat-syarat pembayaran kembali
(rescheduling) hutang-hutang peninggalan Orde Lama.[butuh rujukan] Melalui
pertemuan tersebut pemerintah Indonesia berhasil mengusahakan bantuan luar
negeri.
Pembangunan Nasional
Trilogi Pembangunan
Setelah berhasil memulihkan kondisi politik
bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya yang ditempuh pemerintah Orde Baru
adalah melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang diupayakan
pemerintah waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka pendek dan
Pembangunan Jangka Panjang.[butuh rujukan] Pambangunan Jangka Pendek dirancang
melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi
pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan
nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi
seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional
dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam
pembukaan UUD 1945 yaitu:[butuh rujukan]
1. Melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia
2. Meningkatkan
kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan
kehidupan bangsa
4. Ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial
Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang
dilaksanakan pemerintah Orde Baru berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan
Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan
bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil.
Isi Trilogi Pembangunan adalah:[butuh rujukan]
1. Pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat.
2. Pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas
nasional yang sehat dan dinamis.
Dan Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan
pemerintah Orde Baru adalah:[butuh rujukan]
1. Pemerataan
pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan.
2. Pemerataan
memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
3. Pemerataan
pembagian pendapatan.
4. Pemerataan
kesempatan kerja
5. Pemerataan
kesempatan berusaha
6. Pemerataan
kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan
kaum wanita.
7. Pemerataan
penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air
8.
Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
Pelaksanaan Pembangunan Nasional
Seperti telah disebutkan di muka bahwa Pembangunan nasional
direalisasikan melalui Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka
Panjang. Dan Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui program Pembangunan
Lima Tahun (Pelita). Selama masa Orde Baru, pemerintah telah melaksanakan enam
Pelita yaitu:[butuh rujukan]
Pelita I
Pelita I dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974,
dan menjadi landasan awal pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah
meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan
tahap berikutnya. Sasarannya adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana
perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik
beratnya adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk
mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian,
karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.[butuh
rujukan]
Pelita II
Pelita II mulai berjalan sejak tanggal 1 April 1974 sampai 31
Maret 1979. Sasaran utama Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang,
perumahan, sarana prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan
kerja. Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup berhasil. Pada awal pemerintahan
Orde Baru inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I inflasi berhasil ditekan
menjadi 47%. Dan pada tahun keempat Pelita II inflasi turun menjadi 9,5%.[butuh
rujukan]
Pelita III
Pelita III dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31
Maret 1984.[32] Pelaksanaan Pelita III masih berpedoman pada Trilogi
Pembangunan, dengan titik berat pembangunan adalah pemerataan yang dikenal
dengan Delapan Jalur Pemerataan.
Pelita IV
Pelita IV dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret
1989. Titik berat Pelita IV ini adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada
pangan, dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri
sendiri. Dan di tengah berlangsung pembangunan pada Pelita IV ini yaitu awal
tahun 1980 terjadi resesi.[butuh rujukan] Untuk mempertahankan kelangsungan
pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal. Dan
pembangunan nasional dapat berlangsung terus.
Pelita V
Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita
ini pembangunan ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu
kondisi ekonomi Indonesia berada pada posisi yang baik, dengan pertumbuhan
ekonomi sekitar 6,8% per tahun.[butuh rujukan] Posisi perdagangan luar negeri
memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik
dibanding sebelumnya.
Pelita VI
Periode Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999.
Program pembangunan pada Pelita VI ini ditekankan pada sektor ekonomi karena
dipandang sebagai penggerak pembangunan. Program pada sektor ekonomi dipusatkan
pada bidang industri dan pertanian. Pelita VI juga mengadakan program
peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukung sektor ekonomi. Pada
periode ini, pemerintahan Orde Baru berakhir akibat krisis moneter dan
peristiwa politik dalam negeri yang melanda negara-negara Asia Tenggara
termasuk Indonesia. Krisis ini menyebabkan gangguan terhadap pembangunan
ekonomi.[33]
Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Hal ini
dapat dilihat dari kebiasaan mengganti nama Tionghoa menjadi nama Indonesia
agar terkesan sebagai "pribumi asli" Indonesia. Penggunaan aksara dan
bahasa Tionghoa juga dilarang untuk penggunaan nama media massa dan perusahaan.
Satu-satunya media massa berbahasa Mandarin yang diizinkan
terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia.[34]
Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah
ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama
tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan
pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang
populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat
Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air.[butuh
rujukan] Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi
sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.[butuh rujukan]
Selain itu, warga keturunan Tionghoa juga harus memiliki SBKRI
sebagai bukti kewarganegaraan Indonesia. Hal ini ditentang oleh banyak pihak
karena dianggap diskriminatif. Pada akhirnya penggunaan SBKRI dihapus pada
tahun 1996 dan diselesaikan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.[35]
Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru
Pada masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan
bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi
mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara
yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah
yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke
Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya.[butuh rujukan] Namun dampak
negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya
marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk
pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa
program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai
daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi
terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di
Kalimantan.[36] Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa
diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya,
juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.
Kelebihan sistem
Pemerintahan Orde Baru
·
Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya
AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565[butuh rujukan]
·
Sukses transmigrasi
·
Sukses KB
·
Sukses memerangi buta huruf
·
Sukses swasembada pangan
·
Pengangguran minimum
·
Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
·
Sukses Gerakan Wajib Belajar
·
Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
·
Sukses keamanan dalam negeri
·
Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
·
Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam
negeri[butuh rujukan]
Kekurangan Sistem
Pemerintahan Orde Baru
[butuh rujukan]
·
Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
·
Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya
kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena
kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
·
Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena
kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
·
Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran
yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun
pertamanya
·
Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak
merata bagi si kaya dan si miskin)
·
Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama
masyarakat Tionghoa)
·
Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
·
Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan
majalah yang dibredel.
·
Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain
dengan program "Penembakan Misterius" (atau disingkat sebagai
"petrus")
·
Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke
pemerintah/presiden selanjutnya)
·
Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit
Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa
birokrasi yang efektif negara pasti hancur.[butuh rujukan]
·
Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk
berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
·
Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan
negara dipegang oleh swasta
Krisis finansial Asia
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan
ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau
terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor
lainnya yang semakin jatuh.[butuh rujukan] Rupiah jatuh, inflasi meningkat
tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin
para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan
massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan
setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh.[butuh rujukan] Soeharto
kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden
ketiga Indonesia.
Pasca-Orde Baru
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat
dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era
Reformasi".[37] Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di
jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang
mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi
atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
Transformasi pemerrintahan dari Orde Baru ke Era Reformasi
berjalan relatif lancar meskipun disertai dengan kerusuhan kelompok etnik dan
berpisahnya Timor Timur. Kelancaran transformasi pemerintahan ini lebih baik
bila dibandingkan dengan negara Uni Soviet atau Yugoslavia. B. J. Habibie
berperan sebagai tokoh yang mendirikan landasan pemerintahan yang baru ini.[38]
Daftar pustaka
o https://kabar24.bisnis.com/read/20231129/243/1719190/sejarah-masa-orde-baru-dan-latar-belakang
o Mustofa, Sh., Suryandari, Titik Mulyati (2009). Sejarah: Untuk
SMA/MA Kelas XII Program IPA. Jakarta: PT. Grahadi. ISBN 978-979-068-061-6.
Vatikiotis, Michael R.J. (1998). Indonesian Politics Under Soeharto: The Rise and Fall of the New Order. London: Routledge. ISBN 0-203-25980
Post a Comment for "Sejarah Masa Orde Baru"